Setia pada pasangan hidup = setia kepada Tuhan
Kebanggaan seorang pengikut Kristus pertama-tama bukanlah kalau Allah memenuhi apa yang dimintanya. Para pengikut Kristus mengakui bahwa Kristus telah mengasihi mereka dengan kasih yang paling besar. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13).
Setiap pengikut Kristus mengakui, “Yesus telah mati untuk saya; Ia rela mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban untuk menghapus dosa-dosa saya supaya saya layak tinggal bersama Dia dalam kemuliaan abadi di surga.” Yesus telah berlaku sebagai pribadi yang menyerahkan nyawa demi sahabat yang dikasihi-Nya. Karena itu, kebanggaan sejati seorang pengikut Kristus adalah ketika ia dapat menanggapi kasih itu dengan mengasihi Dia dan sesama.
Seperti dalam pengalaman Hosea dan sebagaimana yang diyakini di dalam Gereja, Allah mempertemukan seseorang dengan pasangan hidupnya dengan tugas untuk mengasihinya. Ketika orang ingin mengasihi Allah, ia harus mengasihi sesama karena “barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya” (1Yoh. 4:20).
Pasangan hidup lebih dari saudara, sehingga ketika orang ingin mengasihi Allah, ia dipanggil untuk mengasihi pasangan hidup yang dipersatukan oleh Allah dengannya. Kasih yang terungkap dalam kesetiaan pada pasangan hidup menjadi bukti bahwa ia mengasihi Allah.
Karena itu, setiap pengikut Kristus belajar dan berusaha sungguh-sungguh untuk setia, membiarkan diri dilatih oleh Tuhan untuk setia, dan bangga karena melaksanakannya. Lebih dari itu, dalam sakramen perkawinan, pasangan suami-istri berjanji di hadapan Tuhan untuk setia dalam untung dan malang. Ini berarti bahwa kesetiaan/ketidaksetiaan pada pasangan hidup sama dengan kesetiaan/ketidaksetiaan kepada Tuhan.
(Bersambung)