Menghakimi Orang Lain

Senin, 25 Juni 2018 – Hari Biasa Pekan XII

474

Matius 7:1-5

“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”

***

Kalau dicermati, isi kolom komentar di berita online maupun media sosial sangat beragam. Ada yang bernada positif, ada juga yang negatif. Tidak jarang muncul berbagai macam kritik tanpa dasar, bahkan caci maki. Sang komentator seakan-akan adalah orang yang paling tahu dan sosok yang suci nan saleh. Kritik dan caci maki biasanya diunggah oleh akun-akun anonim alias abal-abal. Di dunia nyata, saya yakin mereka tidak berani melontarkan itu semua, sebab bisa jadi mereka justru akan dipermalukan oleh kritik mereka sendiri. Mereka ini sering kali lebih buruk daripada orang yang mereka kritik!

Kendati tidak separah akun-akun anonim tersebut di atas, kita pun sebenarnya kerap tergoda untuk menilai dan menghakimi orang lain. Kita mudah sekali melihat kekurangan, kesalahan, dan kekeliruan orang lain, tanpa mau mengerti kondisi atau alasan mengapa mereka sampai melakukan hal demikian. Sebaliknya, untuk kesalahan dan kekeliruan kita sendiri yang bisa jadi lebih besar, kita cenderung bersifat permisif dan seakan punya segudang alasan untuk membenarkan diri.

Dalam rangkaian khotbah di bukit (Mat. 5 – 7), hari ini Yesus mengecam sikap kita yang suka menghakimi orang lain. Betapa mudah kita melihat kesalahan kecil orang lain, tetapi sangat sulit menyadari kesalahan besar kita sendiri. Yesus mengumpamakannya dengan serpihan kayu di mata orang lain dan balok di mata kita sendiri. Ini seperti peribahasa kita berbunyi, “Kuman di seberang lautan tampak, tetapi gajah di pelupuk mata tiada tampak.” Yesus menantang kita untuk mengeluarkan lebih dahulu balok di mata kita agar bisa mengeluarkan serpihan kayu di mata orang lain. Ia tidak ingin murid-murid-Nya menjadi orang-orang yang munafik.

Mengapa tidak sepantasnya kita menghakimi orang lain? Pertama, kita hanya bisa melihat apa yang terlihat di depan mata. Kita tidak mungkin mengetahui alasan dan apa yang ada dalam hati seseorang. Hanya Tuhan yang mengetahui, maka biarlah Dia yang menjadi hakimnya. Kedua, ketika kita menghakimi orang lain, sebenarnya kita menetapkan sebuah ukuran pada orang itu. Ukuran yang sama pada gilirannya akan ditetapkan pada diri kita sendiri. Ketika kita mengkritik orang lain yang suka bergosip, kalau kita bergosip, kita pun layak dikritik juga.

Alih-alih gampang menghakimi, mencela, dan mengkritik kekurangan serta kesalahan orang lain, marilah kita menjadikan hal itu sebagai cermin untuk berefleksi dan berbenah diri. Jangan-jangan diri kita sama seperti dia, bahkan bisa jadi lebih parah dari itu!