Menghadapi derita: Menjadi murid yang menyangkal diri
Kegelisahan saya ketika menghadapi penderitaan, baik itu secara mental, fisik, ekonomi, dan lain sebagainya, berbuntut pada hasrat untuk keluar dari sumur penderitaan. Dengan usaha dan keberuntungan, seseorang mungkin berhasil mengatasi rupa-rupa kesusahan, namun hanya untuk beralih pada penderitaan lain yang sama menakutkannya. Akhir kisah Wang Lung dalam novel The Good Earth memang tragis. Di usia rentanya, ia mengetahui rencana kedua anaknya untuk menjual tanah mereka, kehidupan mereka. Ia tidak dapat berbuat lebih jauh dari hanya mengungkapkan kemarahan. Keberhasilannya mengatasi kemiskinan ternyata tidak menjamin kebahagiaan bagi dirinya.
Selalu ada kekosongan yang terasa dalam setiap bentuk pencapaian seseorang. Namun, mencapai kenyamanan dan jaminan hidup rupanya masuk juga ke dalam wilayah spiritual kita: kita tidak ingin menderita! Dunia menekan kita untuk menjadi hambanya, mengikuti prinsip-prinsip yang memang menghargai kapasitas manusia, tetapi menjauhkan kita dari tuntutan Allah dalam kehidupan. Kita rentan kepada dorongan untuk menjadi serupa dengan standar yang berlaku di dunia.
Ketika pertama kali membaca novel itu, saya masih berusia belia. Bagi pemuda yang merasa masa depannya masih jauh, akhir cerita yang penuh pergumulan seperti itu cukup menggelisahkan. Akhir hidup manusia bisa begitu menyedihkan; kebahagiaan seolah-olah hal yang mustahil; penderitaan tampaknya tidak terhindari. Lama kemudian, mengingat lagi kisah ini membuat saya merenung dan bertanya: apakah perjalanan saya hingga kini bukan merupakan upaya untuk lepas dari penderitaan? Apakah studi teologi lanjutan yang saya ambil tidak didorong oleh keinginan melayani, melainkan oleh hasrat untuk menjamin masa depan? Ketika itu muncul setitik rasa bersalah. Lebih jauh lagi, pikiran yang sama juga merasuki ranah spiritual. Saya merasa telah mengagumi Yesus, namun tidak mengikuti-Nya. Saya ternyata menolak untuk menderita.
(Bersambung)