Petrus memang seorang murid Yesus yang sangat vokal. Dengan bersemangat, ia menyatakan kesetiaannya kepada Yesus. Namun, ia juga begitu rapuh, sehingga kemudian menyangkal Tuhannya. Ketika kita membaca teks ini, perhatian kita secara natural berfokus pada Petrus dan kelancangannya. Namun, jika kita perhatikan gestur Yesus ketika menanggapi Petrus dengan cara berpaling dan memandang murid-murid lain, kita diberikan satu perspektif yang patut kita renungkan. Petrus hanyalah bagian dari suatu komunitas yang percaya bahwa Mesias harus membela bangsanya dan menang melawan kekuatan Romawi.
Bagi masyarakat Yahudi kala itu, cara berpikir Petrus tidaklah keterlaluan.[1] Hampir setiap orang Yahudi akan mengatakan hal yang sama: Mesias harus menang. Kesalahan tidak hanya muncul begitu saja dalam diri seseorang, melainkan hasil dari suatu ekosistem, entah itu pergaulan atau pendidikan. Yesus bukanlah Mesias seperti itu. Bagi Markus, Yesus adalah Anak Allah (bdk. Mrk. 1:1; 1:11; 9:7; 15:39). Dalam hal ini, Kristus bertindak dan berpikir radikal bahwa kenyataannya adalah Ia harus menghadapi penderitaan dan mati di salib. Hal ini tentu saja mengecewakan bagi banyak orang, termasuk bagi pengikut-Nya sendiri.
Ekspektasi murid-murid kepada Yesus adalah: sang Guru akan membebaskan mereka dari penderitaan di bawah taklukan Romawi. Mujizat dan tanda yang telah diadakan Yesus adalah modal besar untuk mewujudkan visi mereka untuk merdeka dengan cara memukul kalah bangsa asing. Bagi mereka jelas: penderitaan yang mereka alami dan harus dihentikan adalah penderitaan yang nyata di depan mata. Bagi Yesus semuanya memiliki arti yang berbeda: penderitaan yang sebenarnya adalah kebutaan rohani umat Tuhan untuk melihat karya penyelamatan Allah. Penyelamatan yang Tuhan rancang melampaui sentimen politis dan kebangsaan.[2] Jika para murid melihat sesuatu yang fisik, Kristus melihat yang rohani dalam penderitaan-Nya karena untuk itulah Ia diutus (bdk. Mrk. 10:43).
(Bersambung)
[1] Irving M. Zeitlin, Jesus and the Judaism of His Time (Cambridge: Polity Press/Basil Blackwell, 1988), 142.
[2] Lihat James D. G. Dunn, “Messianic Ideas and Their Influence on the Jesus of History,” dalam The Messiah: Developments in Earliest Judaism and Christianity (ed. James H. Charlesworth, dkk; Minneapolis: Fortress Press, 1992), 372-375.