Being Is More Important Than Doing

Selasa, 24 April 2018 – Hari Biasa Pekan IV Paskah

229

Yohanes 10:22-30

Tidak lama kemudian tibalah hari raya Pentahbisan Bait Allah di Yerusalem; ketika itu musim dingin. Dan Yesus berjalan-jalan di Bait Allah, di serambi Salomo. Maka orang-orang Yahudi mengelilingi Dia dan berkata kepada-Nya: “Berapa lama lagi Engkau membiarkan kami hidup dalam kebimbangan? Jikalau Engkau Mesias, katakanlah terus terang kepada kami.” Yesus menjawab mereka: “Aku telah mengatakannya kepada kamu, tetapi kamu tidak percaya; pekerjaan-pekerjaan yang Kulakukan dalam nama Bapa-Ku, itulah yang memberikan kesaksian tentang Aku, tetapi kamu tidak percaya, karena kamu tidak termasuk domba-domba-Ku. Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku. Bapa-Ku, yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari pada siapa pun, dan seorang pun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa. Aku dan Bapa adalah satu.”

***

Hari ini kita masih ditemani Yohanes bab 10. Dalam teks Yohanes hari ini, Yesus masih melanjutkan pemaparan-Nya mengenai kriteria seorang gembala yang sejati, gembala yang baik. Kali ini, Yesus berhadapan dengan orang-orang yang menolak dan tidak percaya kepada-Nya. Sebut saja di antara mereka adalah – yang sudah sering kita dengar – para ahli Taurat dan orang Farisi.

Kepada mereka, sekali lagi Yesus mengatakan mengenai apa yang menjadi kriteria seorang gembala sejati. Gembala sejati pasti mengenal domba-dombanya. Para domba akan mengikutinya karena mereka mengenal suaranya, dan sang gembala akan menuntun domba-dombanya ke padang rumput yang hijau. Jadi, hanya tiga kriteria untuk seorang gembala sejati: mengenal domba-dombanya, memanggil domba dengan namanya, dan menuntun domba-domba ke padang rumput. Ketiga hal tersebut bukan karya dan program yang spektakuler. Yang penting, seorang gembala harus “ada bersama” domba-dombanya.

Saya jadi ingat akan cerita Henry Nouwen, seorang penulis buku rohani yang cukup terkenal. Pada titik tertentu, Nouwen merasa lelah dengan rutinitasnya sebagai imam yang bertugas sebagai dosen. Setiap kali ia harus mengajar ini dan itu, serta harus memberi seminar ini dan itu. Berulang kali ia harus berbicara di depan umum, dan sesudah itu – sadar atau tidak sadar – menantikan tepuk tangan mereka. Hari demi hari Nouwen merasa terperangkap dalam keinginan untuk mendapatkan tepuk tangan lagi dan lagi. Itu sungguh melelahkan baginya.

Ia kemudian memutuskan untuk melepaskan segala pekerjaannya selama beberapa waktu dan tinggal cukup lama di sebuah panti asuhan cacat ganda. Di sana ia berjumpa dengan seorang bernama Adam. Adam adalah seorang penderita cacat ganda. Fisiknya cacat, mentalnya pun cacat, sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan orang lain, kecuali melihat. Nouwen bertugas melayani Adam. Perubahan rutinitas dari dosen menjadi pelayan orang cacat tentu tidak mudah bagi Nouwen, namun jelas bahwa hal itu memberinya makna yang sangat mendalam.

Setiap hari ia harus membangunkan Adam, membawanya ke kamar mandi, dan memandikannya. Sesudah itu, ia harus menyuapi Adam dan mengajaknya jalan-jalan ke taman. Adam pasti tidak pernah tahu siapa Henry Nouwen, sebab dia memang tidak mampu mengerti akan hal itu. Satu-satunya yang bisa dimengerti Adam adalah bahwa Nouwen ada bersama-sama dengannya. Adam hanya dapat menyadari hal itu.

“Being is more important than doing,” begitu kata Henry Nouwen kemudian dalam renungannya. Artinya, “Ada bersama lebih penting daripada melakukan sesuatu untuk orang lain.” Itulah yang didapatkan Nouwen dari kebersamaannya dengan Adam.

Bukankah demikian halnya dengan Allah? Kualitas seorang gembala sejati yang dipaparkan Yesus tidak ditentukan berdasarkan seberapa banyak dia melakukan sesuatu untuk domba-dombanya, tetapi ditentukan oleh seberapa dalam ia mengenal mereka, juga seberapa besar pengorbanannya untuk mau hadir dan tinggal bersama dengan mereka.

Saya kira, Allah pun menuntut yang sama terhadap kita. Ia tidak menuntut kita untuk melakukan banyak hal sebagai bukti bahwa kita hebat di hadapan-Nya dan orang lain. Ia hanya meminta kita untuk mau tinggal dan ada bersama-Nya agar kita semakin tahu betapa besar cinta-Nya terhadap kita.