Menderita bersama Tuhan (4)

Markus 8:31-38

122

Mencoba bebas dari derita keterbatasan: Refleksi personal

Saya ingin beralih ke pengalaman yang lebih personal. Saya adalah anak bungsu dalam keluarga Kristen di mana kepala rumah tangga, ayah saya, melayani sebagai pendeta di Gereja Kalimantan Evangelis (GKE). Mendiang ayah sebenarnya tidak berasal dari latar belakang GKE. Beliau dulunya pendeta Gereja Metodis dari Sumatra dan diutus untuk melayani di GKE sebagai motivator pembangunan desa lewat program yang diselenggarakan Dewan Gereja Indonesia pada tahun 70-an. Keterangan yang saya dapat dari ibu, kala itu GKE berharap agar pekerja lapangan haruslah pendeta, sehingga bisa terlibat dalam pelayanan pastoral dalam jemaat, tidak hanya di bidang pembangunan.

Ayah pun lalu melayani di desa Tampa, tidak jauh dari Ampah, kampung di mana kami kemudian menetap. Tidak bisa dipastikan apa motif beliau melayani jauh dari kampung halamannya. Barangkali, saya membayangkan, beliau memang sudah siap untuk menderita. Sosok ayah dalam keluarga dan Gereja sedikit banyak mempengaruhi keputusan saya untuk belajar di sekolah pendeta di Banjarmasin. Sebelumnya, kakak saya yang sulung juga mengenyam pendidikan serupa di sekolah yang sama.

Sebagai keluarga kecil yang hanya bergantung pada gaji pendeta di desa, tentu bisa dibayangkan bagaimana keadaan ekonomi kami. Almarhum ayah memasuki masa purnabakti ketika saya dan abang saya masih sangat kecil, sementara dua kakak perempuan saya masih duduk di bangku sekolah menengah. Sering kali saya merasa keadaan kami yang tidak mampu seperti orang lain adalah sebuah penderitaan. Namun, rasa syukur kami tidak putus kepada Tuhan yang hingga kini memberkati kami dengan kasih setia-Nya yang mengagumkan.

(Bersambung)