Hidup Wang Lung dan keluarganya di tanah asing tidak menjadi lebih baik. Mereka harus hidup mengemis. Wang Lung sendiri mencari nafkah dengan menarik becak. Kerja sekeras apa pun tidak dapat mengubah keadaan mereka! Namun, ketika terjadi mobilisasi massa dan kerusuhan, sesuatu yang di luar dugaan terjadi dan mengubah kehidupan keluarga Wang Lung. Di tengah-tengah kekacauan itulah Wang Lung dan O Lan ketiban rezeki. Seorang tuan tanah kaya yang rumahnya terancam dijarah mempercayakan hartanya kepada Wang Lung demi keselamatannya. Sementara itu, sang istri berhasil membawa pulang perhiasan. Hidup mereka pun berubah seketika!
Namun, ada yang harus dikorbankan demi perubahan itu. Dalam gemerlap kehidupan baru, siapa sangka nilai-nilai yang sebelumnya begitu dijunjung tinggi kini terlupakan. Wang Lung kini asyik dengan kesenangan baru: istri muda yang cantik jelita. Demi suami yang dicintainya, O Lan tidak bisa berkata apa-apa. Menyakitkan memang. Kemakmuran mereka di kemudian hari tidak menjamin kebahagiaan keluarga Wang Lung. Ia mulai menyadari hal itu ketika menghadapi kenyataan bahwa sang istri menderita sakit dan akhirnya meninggal. Ia mulai menghargai kembali nilai-nilai yang dulu ia junjung tinggi sebagai seorang petani miskin.
Adapun anak-anak mereka tumbuh besar dengan tidak bisa lagi menghargai apa itu kerja keras dan kesuksesan. Lebih dari itu, mereka tidak mengerti apa arti tanah bagi kehidupan orang seperti ayah mereka. Mereka menjadi orang yang haus akan kekuasaan dan harta. Tersurat jelas di halaman akhir kisah ini, Wang Lung mengungkapkan betapa berharganya tanah bagi sebuah keluarga karena tanah adalah kehidupan.
Akhir kisah, pada suatu hari, Wang Lung yang sudah renta mendengar rencana anak-anaknya untuk menjual semua tanah miliknya. Begitu mengetahui hal itu, amarahnya meluap. Namun, malang bagi orang tua itu, anak-anaknya dengan licik tidak mengindahkan perkataan sang ayah. “Apalah arti tanah?” Barangkali demikian pikir anak-anaknya
(Bersambung)