Mengenal kitab Kidung Agung
Bagi banyak pencinta Kitab Suci, keberadaan Kidung Agung dalam Alkitab menjadi beban pikiran dan sungguh menyusahkan hati. Bagaimana tidak, isi kitab ini begitu berbeda dengan kitab-kitab yang lain dan sangat tidak lazim untuk sebuah kitab yang disebut firman Allah. Kidung Agung penuh dengan syair cinta yang bergelora. Gairah dan sensualitas berkobar-kobar di dalamnya, dan hal itu sering kali diungkapkan dengan kata-kata yang terasa vulgar dan tidak senonoh. “Sosok tubuhmu seumpama pohon korma dan buah dadamu gugusannya,” demikian salah satu contohnya (Kid. 7:7). Sibuk mengeksplorasi dan memuji-muji keindahan raga sang kekasih, kitab ini “lupa” berbicara tentang Allah sebagai sosok yang menciptakan itu semua, sekaligus sosok yang mesti kita imani.[1] Kitab ini sama sekali tidak berbicara tentang Allah, tetapi tentang manusia. Yang menjadi perhatian bukan kasih Allah, melainkan kasih anak-anak manusia yang dimabuk asmara.[2]
Gara-gara isinya yang mengejutkan itu, Kidung Agung sering dijadikan amunisi oleh orang-orang yang ingin menjatuhkan iman kristiani.[3] Ketik saja “Kidung Agung” di Google, dengan segera di hadapan mata kita tersaji banyak tautan yang dari judulnya saja sudah membuat kita merasa kesal dan gerah. Kidung Agung dicela sebagai kitab yang porno, kitab yang tidak santun, juga kitab yang berbahaya bagi anak-anak. Ada juga yang sampai berkata bahwa keberadaan Kidung Agung menjadi bukti bahwa Alkitab tidak pantas disebut sebagai Kitab Suci, sebab bagaimana mungkin Kitab Suci ternyata isinya hal-hal yang tidak suci?
(Bersambung)
[1] Pada prinsipnya, Allah sama sekali tidak muncul dalam kitab ini. Memang nama Allah disebut satu kali, yakni di Kid. 8:6, tetapi di sini yang dituju bukan Allah, tetapi nyala api-Nya, itu pun hanya untuk perbandingan bagi nafsu berahi yang dahsyat dan berkobar-kobar. Lih. C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 204.
[2] Kecuali kalau kitab ini ditafsirkan secara alegoris. Cinta antara laki-laki dan perempuan dalam kitab ini sering dilihat sebagai alegori bagi cinta antara Allah dan Israel. Lih. Wim van der Weiden, Seni Hidup: Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 229-235.
[3] Bdk. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, 204.