Markus 11:1-10
Ketika Yesus dan murid-murid-Nya telah dekat Yerusalem, dekat Betfage dan Betania yang terletak di Bukit Zaitun, Yesus menyuruh dua orang murid-Nya dengan pesan: “Pergilah ke kampung yang di depanmu itu. Pada waktu kamu masuk di situ, kamu akan segera menemukan seekor keledai muda tertambat, yang belum pernah ditunggangi orang. Lepaskan keledai itu dan bawalah ke mari. Dan jika ada orang mengatakan kepadamu: Mengapa kamu lakukan itu, jawablah: Tuhan memerlukannya. Ia akan segera mengembalikannya ke sini.” Mereka pun pergi, dan menemukan seekor keledai muda tertambat di depan pintu di luar, di pinggir jalan, lalu melepaskannya. Dan beberapa orang yang ada di situ berkata kepada mereka: “Apa maksudnya kamu melepaskan keledai itu?” Lalu mereka menjawab seperti yang sudah dikatakan Yesus. Maka orang-orang itu membiarkan mereka. Lalu mereka membawa keledai itu kepada Yesus, dan mengalasinya dengan pakaian mereka, kemudian Yesus naik ke atasnya. Banyak orang yang menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang menyebarkan ranting-ranting hijau yang mereka ambil dari ladang. Orang-orang yang berjalan di depan dan mereka yang mengikuti dari belakang berseru: “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!”
***
Tidak berlebihan kalau orang mengatakan bahwa dunia ini panggung sandiwara, dan bahwa manusia suka bersandiwara. Banyak akting atau peran dibuat-buat hanya untuk memainkan perasaan orang lain. Banyak cerita cepat berubah hanya untuk mendapatkan keuntungan atau mencari aman. Pendirian dan keyakinan orang tidak luput dari sebuah permainan, hanya untuk memenangkan pertarungan yang kadang harus mengorbankan orang lain.
Perayaan Minggu Palma seakan-akan mempertontonkan sandiwara manusia, dan Yesus adalah korbannya. Drama dimulai dengan prosesi perarakan dengan palma di tangan saat Yesus memasuki Yerusalem sebagai raja. Suasana pada awalnya tampak agung dan meriah, tetapi tidak lama berubah menjadi duka dan brutal.
Awalnya Yesus dielu-elukan dengan sorak sorai, tetapi sesaat setelah itu, Yesus dihina dengan kasar. Yesus diagungkan sebagai Raja, “Hosana Putra Daud,” tetapi sesudah itu, Ia diperlakukan seperti seorang penjahat, “Salibkan Dia, salibkan Dia.”
Namun, dengan ranting-ranting palma kita melihat terbentangnya sebuah kenyataan hidup: sakit, derita, dan kematian, tetapi sekaligus ada kemenangan dan kemuliaan. Daun-daun palma akan mengering. Warnanya akan berubah dari hijau menjadi agak kecokelatan, dan akhirnya dikumpulkan untuk dibakar menjadi abu. Abu itulah yang akan digunakan pada waktu penerimaan abu pada Hari Rabu Abu. Kita tahu bahwa abu menjadi simbol pertobatan dan pembaruan hidup.
Jadi, kematian ternyata memberi makna dan tujuan baru, yakni kehidupan. Ketika kita membawa pulang daun palma ke rumah, kita juga tahu bahwa daun itu menjadi simbol penderitaan. Namun, di balik penderitaan dan sakit terdapat juga kemenangan dan kemuliaan. Yesus yang dijadikan korban permainan manusia menjadi aktor kemenangan akan kehidupan baru.
Setelah Minggu Palma, kita akan memasuki Pekan Suci, pekan di mana perasaan kita bercampur aduk: ada sukacita dan dukacita, berawal dari kemuliaan berakhir dengan penghinaan, hidup dan mati. Namun, semua tidak berakhir di situ. Akhir drama penderitaan ini adalah kemenangan Yesus atas kematian.
Manusia boleh bersandiwara. Namun, Yesus tidak suka dan tidak sedang bersandiwara. Ia sedang menyelesaikan misi perutusan Bapa untuk menyelamatkan manusia. Tuhan adalah sutradara sesungguhnya yang rela mengorbankan Putra-Nya untuk menebus dosa manusia. Ia juga masih memberikan kesempatan kepada umat-Nya untuk memilih peran apakah mau menjadi baik atau jahat di dunia ini.
Marilah kita bersama Yesus memasuki dan merenungkan penderitaan dan kematian-Nya. Di balik penderitaan dan kematian-Nya, ada kemenangan dan kemuliaan. Selamat Hari Minggu Palma.