Makna penderitaan seorang rasul
Dalam Kisah Para Rasul dikatakan bahwa Paulus dipanggil untuk menderita karena Kristus (Kis. 9:15-16). Dalam perjalanan-perjalanannya, ia memang mengalami segala macam kesusahan dan perlawanan, baik dari pihak Yahudi maupun dari bangsa-bangsa lain, juga dari sesama saudara Kristen. Ia menjadi tawanan dan orang hukuman di pelbagai tempat, paling lama di Yerusalem, Kaisarea, dan Roma (Kis. 21-28).
Dalam surat-suratnya, Paulus sering membicarakan kesusahan-kesusahan yang ia alami dalam memelihara jemaat-jemaatnya, paling rinci dalam 2Kor. 11:23-28 (lih. juga 2Kor. 4:8 dst.; 6:4b-5, 8-10, 12; 1Kor. 4:10-13). Penderitaannya sebagai rasul berakar dalam partisipasinya dalam Kristus (2Kor. 1:5; 13:4; Gal. 2:19; 6:17; Flp. 3:10). Ia tidak mengeluh, sebaliknya bermegah karena menemukan makna mendalam di dalam penderitaannya. Makna yang mana?
Dalam 2Kor. 4, Paulus memahami kesusahannya sebagai jalan untuk dapat menyebarkan Injil dengan cara yang lebih baik. Harta, yakni Injil yang dilayaninya, dibawa dalam bejana tanah liat, yakni dalam kerapuhan sebagai manusia. Baiklah demikian sebab dengan demikian menjadi jelas bahwa kekuatan yang juga ada bukan berasal dari dirinya melainkan dari Allah (ay. 7). Dalam ay. 8-9, kelemahannya sendiri dan kekuatan Allah itu dilukiskan dari pengalaman-pengalaman yang penuh pertentangan. Ketika didesak, habis akal, disiksa, dan diempaskan (seperti seorang gladiator yang sedang kalah), Paulus seharusnya binasa. Namun, anehnya ia acap kali toh tidak terjepit, tidak putus asa, tidak ditinggalkan sendirian, dan tidak binasa. Di situlah kekuatan Allah nyata baginya.
Dalam ay. 10-11, Paulus memahami penderitaan dan kelangsungan hidupnya dalam kaitan dengan kematian dan kebangkitan Yesus. “Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami. Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini.” Penderitaannya sebagai rasul merupakan partisipasi dalam kematian Yesus, agar juga hidup kebangkitan Yesus dapat menjadi tampak dalam tubuhnya yang masih hidup.
Dalam kesimpulan (ay. 12) dimasukkan sisi baru, “Demikianlah maut giat di dalam diri kami dan hidup giat di dalam kamu.” Hidup Yesus yang bangkit tidak hanya tampak dalam kelangsungan pelayanan Paulus, tetapi juga dalam kehidupan umat Korintus. Dalam ay. 13-14, Paulus menambah perspektif yang melampaui hidup beriman sekarang, yakni harapan akan kebangkitan nanti. “Ia, yang telah membangkitkan Tuhan Yesus, akan membangkitkan kami juga bersama-sama dengan Yesus.”
(Bersambung)