Penderitaan Yesus, orang benar
Jemaat perdana yang masih bingung dengan penderitaan dan kematian Yesus, sang Mesias, terus merenungkan hal itu dan bertanya tentang maknanya. Dalam perenungan itu, mereka dibantu oleh kitab-kitab suci mereka (Alkitab Yahudi). Mereka berusaha memandang penderitaan Mesias dalam terang kitab-kitab itu, misalnya Mazmur 22 (diacu dalam Mrk. 15:24, 29, 34). Yang berbicara dalam mazmur itu adalah seorang yang benar, namun menderita. Ia berteriak kepada Allah. Dalam rasa ditinggalkan oleh Allah (ay. 2-22), orang benar yang sengsara ini tetap menaruh kepercayaan dan harapan kepada Allah (ay. 23-32).
Dengan bantuan Mazmur 22, sengsara dan salib Yesus diartikan sebagai penderitaan orang benar, seorang tanpa salah yang dalam kesengsaraannya tetap menaruh kepercayaan kepada Allah. Itu tampak sejak pergumulan Yesus di Getsemani. Yesus di satu sisi sangat susah dan takut, sementara di sisi lain tetap mempercayakan segalanya kepada Bapa. Dengan menanggung penderitaan sebagai orang benar, Ia berkenan kepada Allah dan Allah menjawab penyerahan diri-Nya dengan membangkitkan Dia.
Hidup orang benar yang menderita tetapi tetap percaya kepada Allah tidak akan dijauhkan dari sengsara dan kematian, namun kepercayaannya tersebut akan membuat semuanya tidak terjadi secara sia-sia. Kendati Allah tidak menghindarkan Dia dari sengsara dan kematian, namun Allah hadir dan memelihara-Nya di dalam penderitaan, sehingga Ia mampu melampaui kematian.
Pemahaman akan penderitaan dan kematian Yesus sebagai penderitaan orang benar yang tetap dipegang oleh Allah paling dikembangkan dalam Injil Lukas. Yesus dilukiskan menjalani penderitaan-Nya di Yerusalem sebagai orang yang benar. Sampai tiga kali Pilatus menyatakan bahwa ia tidak menemukan kesalahan-kesalahan yang dituduhkan oleh para imam kepada Yesus, kesalahan-kesalahan yang setimpal dengan hukuman mati (Luk. 23:4, 14 dst., 22; juga Kis. 3:14; 22:14). Seorang penjahat yang disalib bersama Yesus menggemakan kesimpulan Pilatus itu, “Orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah” (ay. 41). Kepala pasukan menyimpulkan semuanya, “Sungguh, orang ini adalah orang benar!” (ay. 47). Yesus memasuki malam penderitaan-Nya sebagai seorang yang taat kepada kehendak Bapa (Luk. 22:42), dan mengakhirinya dengan menyerahkan nyawa-Nya ke dalam tangan Bapa (Luk. 23:46). Ia seorang yang tak bersalah, yang menderita dengan bersabar, penuh penyerahan diri.
Lukas tampak bermaksud menjadikan Yesus sebagai model bagi jemaat yang menderita penganiayaan. Yesus adalah martir teladan yang hendaknya diikuti oleh jemaat ketika mereka mengalami penganiayaan. Orang pertama yang tanpa salah harus memanggul salib mengikuti Yesus adalah Simon dari Kirene (Luk. 23:26). Diakon Stefanus memperingatkan Mahkamah Agama bahwa mereka telah membunuh orang benar (Kis. 7:52). Stefanus meneladani model penderitaan dan kematian Yesus itu dalam kepercayaan bahwa ia akan diberi bagian dalam kemuliaan Anak Manusia (ay. 55-60).
Jalan penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus tidak hanya penting bagi Yesus sendiri, tetapi memberi jalan dan harapan kepada orang yang percaya kepada-Nya (1Kor. 15:12-34). Penderitaan merupakan bagian kehidupan orang yang beriman dan benar. Bila diterima dalam terang salib dan kebangkitan Kristus, penderitaan dan kematian orang benar bukanlah akhir kehidupan. Orang yang menanggungnya bersama Kristus dalam kebenaran akan hidup bersama dengan Dia. Harapan itu juga sudah mengubah hidup orang benar yang sengsara, ketika yang bersangkutan masih berada di dunia ini.
(Bersambung)