Allah: Tak terhampiri namun sangat dekat
Tak Terhampiri
Dengan banyak cara, Perjanjian Lama mengungkapkan keagungan Allah yang tak terhampiri. Dalam kisah panggilannya (Yes. 6), Yesaya mendapatkan penglihatan yang menyatakan kemuliaan Tuhan. Dalam penglihatan itu, Yesaya melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi menjulang (ay. 1). Takhta yang demikian menunjukkan kebesaran dan kemuliaan Tuhan yang memenuhi langit dan angkasa. Tuhan digambarkan memakai jubah yang panjang, yaitu jubah kebesaran seorang raja.
Ia hadir dengan disertai para serafim (ay. 2). Demi kekudusan dan kemuliaan-Nya, mereka tidak dapat memandang wajah Tuhan. Mereka menutupi muka dan kaki mereka. Para serafim itu memuji-muji-Nya, “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam” (ay. 3). Dengan kekudusan Tuhan, hendak dinyatakan bahwa Dia melebihi segala sesuatu. Ia sama sekali berbeda dengan makhluk-makhluk-Nya. Ia jauh melampaui mereka dan terpisah dari mereka, sehingga tidak terhampiri dan sangat menakutkan (secara rohani dan menimbulkan rasa keseganan; bdk. Kel. 33:20).
Menyadari penglihatan itu Yesaya ketakutan, “Celakalah aku! Aku binasa!” (ay. 5). Ia teringat akan akibat dahsyat yang dapat menimpa dirinya karena sebagai manusia yang berdosa ia telah melihat Allah dan kemuliaan-Nya (bdk. Kel. 33:20). Tidak ada orang yang tahan memandang wajah Allah karena tidak ada orang yang memandang-Nya akan dapat tetap hidup. Bahkan, Musa yang berbicara dengan Tuhan berhadap-hadapan pun hanya melihat-Nya dari belakang. Dalam terang kekudusan Allah, nabi menyadari kedosaannya, “Aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni Tuhan semesta alam.” Yesaya sadar akan kemuliaan Allah yang harus disembah dan diagungkan melebihi segala sesuatu. Ia sadar juga akan kehinaannya sendiri, serta kesengsaraan bangsanya yang jauh dari Allah.
(Bersambung)