Ibu dan Saudara-saudara Yesus

Selasa, 23 Januari 2018 – Hari Biasa Pekan III

607

Markus 3:31-35

Lalu datanglah ibu dan saudara-saudara Yesus. Sementara mereka berdiri di luar, mereka menyuruh orang memanggil Dia. Ada orang banyak duduk mengelilingi Dia, mereka berkata kepada-Nya: “Lihat, ibu dan saudara-saudara-Mu ada di luar, dan berusaha menemui Engkau.” Jawab Yesus kepada mereka: “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?” Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya itu dan berkata: “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.”

***

Gambaran Injil Markus tentang relasi Yesus dan keluarganya tidak selalu harmonis. Di Mrk. 3:20 dilukiskan bagaimana Yesus begitu sibuk mengajar, sehingga makan pun tidak sempat. Mendengar hal ini, keluarga datang untuk mengambil Yesus, sebab Ia begitu terobsesi dengan pelayanan-Nya. Mereka ingin “menyelamatkan” Yesus. Namun, sebenarnya mereka tidak memahami Yesus, sama seperti Simon Petrus yang hanya memikirkan apa yang dipikirkan manusia, bukan yang dipikirkan Allah (Mrk. 8:31-33). Ketika sampai di lokasi, ibu dan saudara-saudara Yesus tetap berdiri di luar. Mereka tidak masuk, bahkan menyuruh orang untuk memanggil Yesus. Agaknya di sini mereka menggunakan otoritas mereka sebagai keluarga Yesus.

Ketika diberitahu bahwa ibu dan saudara-saudara-Nya berada di luar rumah dan berusaha menemui-Nya, Yesus bertanya, “Siapakah ibu-Ku, siapakah saudara-saudara-Ku?” Yesus yang sedang duduk mengajar – demikian cara rabi Yahudi mengajar – melihat kepada mereka yang ada di sekeliling-Nya, lalu menegaskan, “Inilah ibu dan saudara-saudara-Ku. Barangsiapa melakukan kehendak Allah, merekalah ibu dan saudara-saudara-Ku!”

Yesus dengan ini memperluas ikatan keluarga-Nya, bukan berdasarkan darah, melainkan berdasarkan kriteria “melakukan kehendak Allah.” Di sini seakan ada kontras antara keluarga biologis Yesus yang berdiri di luar dan keluarga eskatologis yang duduk di sekeliling-Nya.

Penegasan Yesus tersebut patut kita sambut dengan rasa syukur, sebab dengan demikian kita dimungkinkan menjadi ibu dan saudara-saudari Yesus, asalkan melakukan kehendak Tuhan. Barangkali di sini yang perlu direfleksikan adalah sejauh mana kita telah duduk mendengarkan pengajaran Yesus, atau kita justru memilih berdiri di luar, sejauh mana pula kita telah melakukan kehendak Allah yang diwartakan oleh Yesus.

Kendati kita sudah mengetahui kehendak Allah, harus kita akui bahwa kemauan, niat, tekad, dan konsistensi kita untuk melakukannya terkadang masih lemah. Barangkali itu karena kita lebih memikirkan apa yang dipikirkan oleh manusia daripada yang dipikirkan dan dikehendaki oleh Allah.