Siapa saja yang dirugikan oleh praktik korupsi, dan kerugian apa saja yang diakibatkan oleh tindak kejahatan ini?
Bisa dipastikan bahwa korupsi hanya menguntungkan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, ditambah kalangan terbatas yang turut menikmati hasilnya. Sebagai konsekuensi atas keuntungan itu, kerugian harus ditanggung oleh orang-orang selain mereka secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian moral dan material yang diakibatkan oleh korupsi sangat besar, sebab korupsi adalah kejahatan yang sifatnya sangat merusak. Apalagi para koruptor sangat pandai bermain halus, sehingga dengan diam-diam mereka berhasil mengeruk banyak uang tanpa disadari orang lain. Selain itu, kerusakan yang ditimbulkan oleh korupsi biasanya sangat luas karena menjangkau berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Dalam kasus korupsi berupa pencurian (atau penggelapan), yang pertama-tama mengalami kerugian adalah orang atau pihak yang dikorupsi. Mereka ini mengalami kerugian secara finansial atau material. Dalam kisah bendahara yang tidak jujur misalnya (Luk. 16:1-9), yang menjadi korban di sini adalah tuan dari bendahara itu. Secara tidak bertanggung jawab, pegawai yang dipercaya olehnya malah mengambil harta sang majikan untuk kesenangannya sendiri. Korupsi akan membuat hidup pihak korban menderita kalau yang bersangkutan adalah orang kecil, misalnya saja dalam kasus para majikan yang menahan gaji pegawainya (bdk. Yak. 5:4).
Ketika seseorang menyuap saksi dan aparat pengadilan dalam rangka memenangkan suatu kasus di persidangan, kerugian akan ditanggung oleh pihak yang menjadi lawan orang tersebut. Tidak peduli dirinya benar, tetap saja ia akan diputuskan bersalah, sebab dalam hal ini yang menjadi faktor penentu adalah uang (bdk. Mi. 3:11). Kerugian yang dialami orang itu bisa jadi lebih dari sekadar materi, apalagi kalau dirinya harus masuk penjara atau dihukum mati. Nama baik yang bersangkutan rusak dan masa depannya hancur.
Dalam skala yang lebih luas, korupsi berdampak negatif bagi kehidupan rakyat banyak, terutama orang-orang kecil. Ini terjadi ketika korupsi sudah menyentuh tingkat pemerintahan, terutama di lembaga-lembaga yang menangani kepentingan masyarakat. Uang yang seharusnya dipakai untuk menyejahterakan bangsa digerogoti untuk kantong sendiri, sehingga dana untuk mengentaskan orang kecil dari kemiskinan tidak tersisa lagi. Inilah yang dikecam Yesaya ketika ia berkata, “Para pemimpinmu adalah pemberontak dan bersekongkol dengan pencuri. Semuanya suka menerima suap dan mengejar sogok. Mereka tidak membela hak anak-anak yatim, dan perkara janda-janda tidak sampai kepada mereka” (Yes. 1:23).
Pada akhirnya, korupsi akan merusak tatanan yang berlaku dalam masyarakat, salah satunya menyangkut sistem hukum dan peradilan. Bagaimana tidak, orang salah menjadi benar, sementara orang benar malah masuk penjara. Nasib malang akan selalu menyertai orang miskin yang berperkara, sebab ia tidak mempunyai uang untuk memenangkan perkara tersebut. “Orang fasik menerima hadiah suapan dari pundi-pundi untuk membelokkan jalan hukum,” demikian dikatakan oleh kitab Amsal (Ams. 17:23). Kalau situasinya seperti itu, keadilan praktis sudah lumpuh. Yang diandalkan oleh masyarakat bukan lagi hukum, melainkan uang.
(Bersambung)