Mengapa Alkitab melihat korupsi sebagai suatu kejahatan?
Pencurian, suap, dan kecurangan – perbuatan-perbuatan yang pada masa sekarang disebut korupsi – dipandang sebagai kejahatan karena bertentangan dengan kekudusan Allah. Allah itu kudus (Im. 11:45). Kejahatan dan cacat cela sama sekali tidak ada pada-Nya. Ia senantiasa berlaku adil terhadap segenap ciptaan (Mzm. 7:12), tidak goyah oleh suap (Ul. 10:17), dan tidak pernah berlaku curang (2Taw. 19:7). Keadilan Tuhan sebagai hakim tertinggi dipuji oleh pemazmur, “Sebab Engkau membela perkaraku dan hakku, sebagai Hakim yang adil Engkau duduk di atas takhta” (Mzm. 9:5). Karena Tuhan senantiasa berkomitmen pada nilai-nilai kebenaran, umat pun diajak bersikap demikian. “Jadilah kudus, sebab Aku ini kudus” (Im. 11:45; 19:2; 1Ptr. 1:16). Korupsi jelas merupakan pelanggaran terhadap komitmen tersebut.
Dengan melakukan korupsi, ikatan perjanjian dengan Allah dilecehkan, sebab tindakan ini mengisyaratkan tidak adanya rasa hormat kepada-Nya. Allah menghendaki tegaknya keadilan. Sebagai sumber keadilan, Allah menetapkan berbagai macam hukum agar manusia hidup dalam keselarasan dengan diri-Nya dan sesama. Semuanya itu diinjak-injak oleh mereka yang melakukan korupsi. Jika demikian, bagaimana mungkin orang-orang yang menjungkirbalikkan keadilan demi uang pantas disebut umat Allah? Korupsi juga menciderai jati diri manusia sebagai gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26), sebab sebagai gambar dan rupa Allah, manusia seharusnya tahu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat.
Tidak lupa aspek sosial pun menjadi pertimbangan mengapa korupsi dilihat sebagai suatu kejahatan. Orang yang melakukan korupsi pada prinsipnya hanya peduli pada dirinya sendiri. Hidup orang lain sama sekali tidak diperhitungkan olehnya. Karena itu, ia mengabaikan fakta bahwa tindakan yang dilakukannya tersebut akan menyengsarakan orang lain, terutama orang-orang kecil. Allah tentu saja tidak bisa menerima hal ini, sebab Ia selalu berada di pihak mereka yang kecil, miskin, disingkirkan, dan diperlakukan tidak adil (Luk. 1:46-55).
(Bersambung)