Yohanes 1:19-28
Dan inilah kesaksian Yohanes ketika orang Yahudi dari Yerusalem mengutus beberapa imam dan orang-orang Lewi kepadanya untuk menanyakan dia: “Siapakah engkau?” Ia mengaku dan tidak berdusta, katanya: “Aku bukan Mesias.” Lalu mereka bertanya kepadanya: “Kalau begitu, siapakah engkau? Elia?” Dan ia menjawab: “Bukan!” “Engkaukah nabi yang akan datang?” Dan ia menjawab: “Bukan!” Maka kata mereka kepadanya: “Siapakah engkau? Sebab kami harus memberi jawab kepada mereka yang mengutus kami. Apakah katamu tentang dirimu sendiri?” Jawabnya: “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan! seperti yang telah dikatakan nabi Yesaya.”
Dan di antara orang-orang yang diutus itu ada beberapa orang Farisi. Mereka bertanya kepadanya, katanya: “Mengapakah engkau membaptis, jikalau engkau bukan Mesias, bukan Elia, dan bukan nabi yang akan datang?” Yohanes menjawab mereka, katanya: “Aku membaptis dengan air; tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal, yaitu Dia, yang datang kemudian dari padaku. Membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak.”
Hal itu terjadi di Betania yang di seberang sungai Yordan, di mana Yohanes membaptis.
***
Beberapa waktu bertugas di seminari menengah dan berjumpa dengan anak-anak muda yang berjuang merawat panggilan mereka menjadi imam membuat saya sampai pada sebuah kesimpulan sederhana bahwa bukan hanya anak-anak itu saja yang diformat, tetapi saya pun dibentuk. Salah satu ciri utama gaya hidup di seminari, baik bagi seminaris maupun pendampingnya, adalah keteraturan. Semuanya serba diatur dari jam ke jam, menit ke menit, acara demi acara. Kegiatan demi kegiatan ditata sesuai dengan porsinya agar orang yang hidup di dalamnya mendapatkan keseimbangan, baik dalam bekerja, beristirahat, berolahraga, maupun berdoa.
Itu bukan perkara mudah. Banyak seminaris merasa kesulitan membagi waktu secara seimbang antara belajar, bekerja dalam sebuah kepanitian tertentu, berdoa, dan istirahat. Tidak jarang mereka menjadi keteteran. Pekerjaan beres, tetapi badan menjadi lelah dan jiwa menjadi kering. Yang lebih parah, ada juga yang badannya lelah, jiwanya kering, sementara pekerjaannya tidak beres.
Hidup yang bahagia adalah hidup yang seimbang. Paling tidak begitulah kata rahib suci Thomas Moore. Bagi para seminaris, saya sering mengutipkan kata-kata Kardinal Fulton Sheen dalam bukunya yang berjudul Imam Bukan Miliknya Sendiri. Bunyinya demikian, “Letakkanlah dirimu pada tangan Allah. Ia akan memperlihatkan kepadamu karyamu.”
Bagi kita semua, hari ini Gereja menawarkan tiga tokoh yang sangat inspiratif, yakni Yohanes Pembaptis, Basilius Agung, dan Gregorius Nazianze. Ketiganya menurut hemat saya menawarkan salah satu keutamaan hidup kristiani yang tidak rugi untuk kita teladani, yakni hidup berpusat pada Kristus.
Pertama, Yohanes Pembaptis. Kita mengenalnya sebagai sosok yang rendah hati. Kedatangannya adalah untuk menyiapkan jalan bagi Tuhan, demikian nubuat Zakharia, ayahnya. Dan, benar, Injil hari ini melukiskan kerendahan hati Yohanes Pembaptis dengan sangat indah. Alih-alih mengakui diri sebagai Mesias, ketika beberapa utusan orang Yahudi datang kepadanya, dia malah mengatakan, “Dia yang akan datang akan membaptis kamu dengan Roh … membuka tali kasutnya pun aku tidak layak.” Bukan dirinya yang penting, tetapi Yesus.
Kedua, Basilius Agung. Santo Basilius Agung dikenal sebagai uskup yang mewartakan belas kasih Allah. Pilihan hatinya untuk memperhatikan dan mencintai saudara-saudara yang termiskin dari yang paling miskin menjadi tanda akan pilihan sikapnya untuk mendasarkan diri pada belas kasih Allah. Pilihan semacam itu tidak akan terjadi jika hidupnya tidak berpusat pada Kristus. Kita tahu bahwa belas kasih Allah tampak konkret dalam hidup Yesus.
Ketiga, Gregorius dari Nazianze, sahabat Basilius Agung. Sama dengan Basilius Agung, Gregorius juga seorang uskup. Keduanya hidup pada zaman ketika Gereja diserang oleh Arianisme. Aliran ini tidak mau mengakui Yesus sebagai Tuhan. Kekuatan Greogorius ada pada khotbah-khotbahnya yang “membakar” banyak orang, sehingga mereka kembali lagi kepada Yesus dan Gereja. Melalui khotbah, ia mampu mengembalikan keyakinan dan iman banyak orang bahwa Yesus adalah sungguh Allah, sekaligus sungguh manusia. Hal itu tentu tidak akan terjadi jika hidup Gregorius tidak berpusat pada Kristus.
Saudara-saudari sekalian, marilah kita bertanya kepada diri kita masing-masing, sudahkah hidup kita berpusat pada Kristus? Mudah bagi kita untuk sekadar menyebut nama Yesus di saat kita jatuh atau sedang berada dalam masa-masa sulit. Namun, ketika kita sukses dan berada di puncak popularitas, sudahkah kita berterima kasih kepada-Nya? Alih-alih berdoa dan menyebut nama-Nya, kalau tidak hati-hati bisa saja kita lupa diri dan larut dalam kesenangan karena semua orang bertepuk tangan untuk kita. Persis seperti para pemain sirkus!