Kain menanggung hukuman yang sangat berat
Kain harus bertanggung jawab penuh atas perbuatannya. Kepadanya Tuhan menjatuhkan hukuman yang sangat berat, yakni pengusiran dari tanah dan masyarakat. Meski diolah, tanah tak akan lagi memberikan hasil baginya. Itu artinya Kain harus meninggalkan pekerjaannya sebagai petani, beralih menjadi pengembara yang tanpa henti berkeliling dari satu tempat ke tempat lain.[1] Hukuman ini menunjukkan bahwa dosa punya implikasi sosial, membuat seseorang terasing dari Tuhan maupun sesama.
Menghindari perjumpaan dengan orang lain,[2] Kain diandaikan mesti berkelana menyusuri padang gurun. Tentunya hidup dengan cara demikian tidak mudah. Alam padang gurun sangat berat. Selain itu, di sana berkeliaran banyak penjahat yang tak segan melakukan kekerasan. Mengembara seorang diri sama saja mempertaruhkan nyawa, apalagi di masa lalu orang asing sering dilihat begitu saja sebagai ancaman. Keberadaan aparat penegak hukum yang sanggup melindungi masyarakat dan menjamin tegaknya keadilan belum dikenal. Untuk bertahan hidup, seseorang membutuhkan perlindungan keluarga. Namun, Kain justru diasingkan dari keluarga. Hukuman yang diterima Kain dengan demikian sejajar dengan hukuman mati.[3]
Hukuman yang berat membuat Kain mengeluh. Ia merasa tak sanggup menanggungnya, sebab siapa saja bisa membunuhnya sewaktu-waktu. Tak ada penyesalan, permohonan ampun, atau pertobatan di sini. Kain tampil sebagai sosok yang suka protes, menuntut banyak hal dari Tuhan, padahal segala penderitaan itu terjadi akibat kesalahannya sendiri. Biar begitu, keluhan Kain ternyata didengarkan Tuhan. Ia berkenan memberi keringanan hukuman dengan menaruh tanda pada Kain. Tanda apakah itu? Apa pula peran dan arti tanda tersebut?
Tanda yang misterius
Sudah jelas bahwa teks Kitab Suci tidak memberikan gambaran kepada kita tanda apa tepatnya yang diberikan Tuhan kepada Kain. Akan tetapi, justru karena itulah orang jadi penasaran, hingga spekulasi pun merebak ke mana-mana. Banyak pihak melontarkan pendapat, berusaha menebak tanda misterius itu. Ruth Mellinkoff mengamati pendapat-pendapat tersebut lalu mengelompokkannya dalam tiga kategori berikut ini.[4]
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa tanda itu mestinya berupa cap, rajah, atau tato yang diterakan Tuhan pada tubuh Kain, tepatnya di bagian dahi. Ini adalah pendapat yang paling populer dan memang ada dasarnya dalam Kitab Suci. Dalam Yeh. 9:4,6, Tuhan digambarkan memberi perintah kepada Yehezkiel untuk menuliskan huruf T pada dahi orang-orang yang pantas diselamatkan-Nya. Tanda di dahi disinggung pula oleh Kel. 13:9; 28:38; Ul. 6:8; 11:18; dan Why. 7:3; 14:1 meski konsepnya belum tentu sama. Dalam tanda-tanda tersebut terkandung makna bahwa yang bersangkutan adalah milik Tuhan dan dilindungi oleh-Nya.[5] Berbanding terbalik dengan itu, dalam Why. 13:16; 14:9; 17:5, tanda di dahi menunjuk pada pihak-pihak yang melawan kuasa Tuhan. Sayangnya, meski ada kemungkinan tanda itu diterakan Tuhan di dahi Kain, bentuknya tetap saja tidak jelas: huruf T? Tanda silang? Lingkaran? Entahlah.
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa tanda itu berupa gerakan tertentu pada tubuh Kain, misalnya tangan yang terus-menerus gemetar seperti orang yang terkena penyakit parkinson. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa tanda itu berupa keadaan tertentu pada tubuh Kain, seperti bercak-bercak putih akibat serangan penyakit kusta, bulu yang lebat, kulit hitam (sampai ada yang berpendapat bahwa mereka yang berkulit hitam adalah keturunan Kain), atau pendapat yang paling parah, di kepala Kain mungkin tumbuh semacam tanduk!
Di luar pengelompokan itu ternyata masih ada pendapat lain. Salah satunya yang menarik untuk disimak adalah pendapat R.W.L. Moberly.[6] Moberly melihat bahwa dalam teks asli, ‘tanda pada Kain’ (Kej. 4:15) lebih tepat dimengerti sebagai ‘tanda untuk Kain’. Perubahan kata depan ini signifikan, sebab turut mengubah makna. ‘Tanda untuk Kain’ artinya tanda tersebut tidak harus melekat di tubuh Kain. Perhatikan pula firman Tuhan kepada Kain, “Barangsiapa yang membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat” (Kej. 4:15). Kalau firman itu tertuju kepada Kain, mengapa nama Kain disebut seolah-olah Tuhan sedang berbicara kepada orang ketiga? Mengapa Tuhan tidak berkata, “Barangsiapa yang membunuhmu…”? Tampaknya firman itu lebih merupakan maklumat yang tertuju kepada orang lain agar mereka tidak mengganggu Kain.
Jika faktor-faktor tersebut dipadukan, demikian Moberly menyimpulkan, menjadi jelas bagi kita tanda apa yang sesungguhnya diberikan Tuhan kepada Kain. Tanda tersebut tidak lain firman Tuhan itu sendiri. Jelasnya, tanda yang diberikan Tuhan kepada Kain adalah firman yang berbunyi, “Barangsiapa yang membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat.” Bukan cap atau tato tertentu, bukan kulit berwarna hitam apalagi tanduk, tanda itu ternyata berupa suatu peringatan. Dengannya keselamatan Kain sebagai pengembara di tanah asing tetap terjaga dan terlindungi.
Lalu, pendapat mana yang harus kita ikuti? Meski melontarkan macam-macam pendapat, kebanyakan ahli – termasuk Moberly – umumnya mengakui bahwa bagaimanapun teks Kitab Suci tidak mengatakan apapun tentang bentuk tanda itu. Kita tak akan pernah tahu pasti tanda apa yang sebenarnya dimaksudkan. Sejumlah ahli malah menolak memberi jawaban kalau ada yang mempertanyakan hal itu. Alasan mereka, yang kita hadapi adalah sebuah kisah dari dunia purba. Dunia mereka sangat berbeda dengan dunia kita sekarang ini. Sementara itu Westermann berpendapat, meski bercerita tentang pemberian suatu tanda, penyusun kisah sendiri ada kemungkinan tidak memikirkan bentuk konkret tanda tersebut.[7] Itu artinya, kalau kita bertemu dengan penyusun Kej. 4:1-16 lalu bertanya kepadanya tentang tanda yang diterima Kain, bisa jadi ia juga menjawab, “Saya tidak tahu!”
BERSAMBUNG
[1] Bertentangan dengan hukuman menjadi pelarian dan pengembara, anehnya di akhir kisah (ay. 16) malah dikatakan bahwa Kain ‘menetap di tanah Nod, di sebelah timur Eden’. Namun, di situ agaknya Kain diandaikan tetap hidup terisolasi tanpa kedamaian. Lih. Maher, 1982:50-53.
[2] Siapa? Bukankah yang ada di bumi cuma Adam, Hawa, Kain, dan Habel yang sudah meninggal? Kembali diingatkan bahwa kita tidak sedang berhadapan dengan catatan sejarah. Tanpa memperhatikan konsistensi dengan bagian sebelumnya, kisah ini mengandaikan keberadaan orang lain di luar keluarga Adam-Hawa (bdk. Kej. 4:17). Karena itu disimpulkan bahwa kisah Kain dan Habel tampaknya mula-mula berdiri sendiri, baru kemudian diadaptasi oleh tradisi Yahwis dan digabungkan dalam kisah manusia pertama. Lih. Bergant, 2002:42-43.
[3] Lenchak, 199x:53.
[4] Ruth Mellinkoff. The Mark of Cain. Berkeley: University of California Press, 1981, pp. 22-80.
[5] Saya teringat pada ternak yang sering kali tubuhnya dicap dengan menggunakan besi panas. Cap permanen itu menandakan pemilik ternak yang bersangkutan.
[6] Moberly, 2007: 11-28.
[7] Westermann, 1985:288-320.